Membaca tulisan Gde Prama yang berjudul “Orang Brengsek Guru Sejati”, mengingatkanku akan sosok manusia ini.
Dalam setiap perbedaan pendapat yang terjadi, si manusia ini selalu mengedepankan emosi. Dia selalu ingin tampil paling benar dengan pendapatnya dan jarang sekali mau mendengarkan pendapat yang lain. Alhasil, dalam setiap komunikasi yang terjalin selalu saja berakhir tragis. Menggantung dan menimbulkan rasa tidak enak pada lawan bicaranya.
Sebagai seorang kawan yang juga pernah berselisih paham dengannya, saya pernah mengingatkan akan kondisi tersebut. Tentang kebiasaannya dalam mengedepankan emosi dan tentang “pembelajaran” yang selalu dia lewatkan. Namun karena emosi dan rasa selalu benar lebih mendominasi dalam dirinya, maka setiap masukan yang tersaji tidak pernah benar-benar mengubah dia menjadi pribadi yang lebih hangat. Yang lebih parahnya lagi, dia menyampaikan bahwa setiap masukan itu tidak harus selalu dia turuti, sebaik apapun masukan itu bagi perubahan personalitinya.
Orang-orang yang demikian banyak kita jumpai disekitar kita. Orang-orang yang dihadirkan untuk menguji kesabaran kita. Orang-orang yang dihadirkan supaya kita dapat belajar darinya, bahwa menjadi personaliti seperti itu sangatlah menjengkelkan dan tidak layak untuk ditiru. Bahwa ingin menjadi selalu benar tidaklah selalu baik. Bahwa memaklumkan setiap emosi negatif yang keluar adalah merusak kewajaran.
Kenapa saya bilang demikian?
Bayangkan jika kemudian dalam setiap kesempatan diskusi atau jenis komunikasi apapun yang terjalin, kita mengabaikan masukan-masukan yang sebenarnya bisa menjadi berkah tak terhingga bagi peningkatan kualitas hidup kita, hanya karena kita selalu merasa diri benar.
“Kata siapa saya seperti itu?”
“Ohya? Saya seperti itu ya?”
Dua kalimat berbeda yang merujuk pada satu pernyataan, namun memberikan efek yang berbeda.
Kalimat pertama jelas telah menutup perubahan kebaikan dalam dirinya karena si empunya telah merasa diri benar, sehingga tidak perlu lagi mendengarkan yang lain.
Kalimat kedua, akan muncul sebuah kontemplasi yang masih memungkinkan terjadinya perubahan kearah kebaikan.
Mendengar, setiap manusia yang diberi pendengaran yang berfungsi dengan baik pasti bisa melakukannya. Namun mendengarkan, tidak semua orang bisa melakukannya.
Dibutuhkan kerendahan hati untuk mau melihat dalam diri terhadap kekurangan-kekurangan yang tidak kita rasakan. Kekurangan yang mungkin hanya bisa dilihat oleh orang lain.
Beruntunglah orang-orang yang diberi kerendahan hati dalam melihat kekurangan diri yang tersampaikan, orang-orang yang saya yakin akan menjadi pribadi yang hebat dikurun waktu yang terlewati.
Dan merugilah orang-orang yang tidak pernah mau berubah itu. Orang-orang susah yang kelak tak akan pernah tahu nikmatnya melewati sebuah fase perubahan dalam dirinya. Sebuah kenikmatan yang tak ternilai harganya, karena selalu ada senyum yang akan mengembang kala mengenang fase perubahan yang telah terlewati.
Semoga kamu tidak menjadi bagian dari orang susah itu…
Semoga kamu tidak menjadi bagian dari orang susah itu…
ReplyDeleteamin...
hehe...
ReplyDeletekamu pasti bisa dee
Ini hal mental immaturity, ya jeng. Kira-kira mirip iklan, "Menjadi tua itu pasti, menjadi dewasa itu pilihan". Nice article.
ReplyDeleteOrang-orang kayak gitu pasti banyak di mana-mana. Mulai dari rumah, pergaulan sampe kantor. Tinggal bagaimana menghindari atau terjebak. Yang penting, positip aje terus. :D
ReplyDeleteberubah itu susah,,
ReplyDeletetapi orang yang gak bisa berubah itu justru orang yang susah ya..?
Hehhee.. saya pernah nemui orang seperti itu..
ReplyDeletebahkan lebih baik menasehati tembok daripada menasehati dia.
@jo organic : yep! Dan saat kamu mengatakan berubah itu susah, saat itu pula hidupmu sudah mulai dilingkupi aura kesusahan.
ReplyDelete@yogie : bwahaaha... tembok aja masih lebih pengertian daripada jenis orang kek gini ya yog?
hmm artikel'e nggo sopo to nduk ...? mbok langsung wae menuju ke satu nama ...or inisial hiihihihihihih " * mlayu mode on ...
ReplyDeletesabar nduk ..emang gitu kadang2 yah kamu yg sabar aja ...
sing penting "jangan kayak orang susah dey " hehehehe
He...aku bukan orang susah tapi kata bossku orang sulit...Hiks. Sama ga kira2 mbak. Karena Gozhwul Fikri (perang pemikiran) yg terkadang menyeretku setia pada prinsip hidup.
ReplyDeleteklo itu lebih farah mien.
ReplyDeletesegeralah bertobat
:)
saya orangnya konsisten
ReplyDeletejadi pilihlah partai saya
semarang..semarang ...kurang 1 brangkat ....
ReplyDeleteweekekekekekekkekeke ...
bwahahahaha.... niff obama emang mangtabh! saya coblos anda! *golek linggis
ReplyDeletepostinganmu keren abis mbak yu
ReplyDelete