Wednesday, January 28, 2009

VOTE BAJAJ!

Bajaj!

Dengan keyakinan penuh kuberhentikan angkutan yang selama ini aku idam-idamkan untuk aku naiki itu. Sebentar lagi aku akan merasakan kehebatan vibrasi dari bajaj yang konon bisa bertahan hingga 7 hari 7 malam. Yang efek menahunnya konon bisa bikin tulisan jadi jelek. Belum lagi suara deru mesin yang akan menguras energi kita apabila nekat melakukan perbincangan didalam bajaj.

“Kemang, Bang!”

Setelah menyepakati harga yang harus aku bayar, maka dengan bacaan bismillah dalam hati, kumulailah petualangan siang itu. Mental dalam diri sudah aku bangun dengan pondasi kalimat-kalimat miring mengenai bajaj itu sendiri. Dan saat mesin telah dinyalakan, kumulai perjalanan kali ini dengan senyum mengembang.

5 menit pertama, senyum itu masih megembang. Deru mesin yang memekakkan telinga bisa aku antisipasi dengan alunan lagu-lagu melalui earphone. Nyaman. Tidak sebegitu menakutkan seperti gambaran kawan-kawanku. Dan senyumku masih terus mengembang.

“Neng, lokasinya sebelum atau setelah Mac Di?”
“Apa bang?” Kumatikan sejenak M3 yang sedang aku dengarkan itu.
“Lokasinya Sama Mac Di?”
“Oh.. masih terus bang. Perempatan lurus aja.”

Kemudian terjadi sedikit percakapan antara aku dengan supir bajaj tersebut terkait dengan lokasi yang hendak aku tuju. Bajaj itu masih melaju, menambah kecepatannya yang berefek pada peningkatan vibrasi dan deru mesin. Ngepot kiri, nyalip kanan, ngajleng saat ada lobang jalan, plus kepulan asap memperseru perjalananku siang itu.

“Bang… bang.. kelewatan.”

Abang itu tetap melaju. Tak menghiraukan suaraku yang tertelan deru mesin itu.

“BAANGG…..! KELEWATAAAN!”

Reflek begitu mendengar jeritanku, supir bajaj itu tanpa bertanya-tanya lagi langsung membelokkan arah setirannya 180 derajat! GILA! Aku langsung syok! Aku tidak mempersiapkan mentalku untuk ini. Dalam pikiranku, bajaj itu seperti mobil-mobil kebanyakan, yang harus memindahkan gigi terlebih dahulu, mengurangi kecepatan, mundur, baru berbelok. Lha ini…. Tanpa melalui fase-fase yang ada dalam bayanganku, bajaj itu langsung ngeeeeekkkk… muter 180 derajat! GILA!

Don’t be panic wie.

Aku mencoba menenangkan gemuruh dalam dada. Menarik nafas panjang, dan mencoba meletakkan kembali senyum itu dalam wajahku. Meskipun aku tahu, kali ini tidak lagi mengembang. Kecut. Mungkin itu kata yang lebih tepat.

Well, akhirnya sampailah aku di tujuan dengan selamat.


”Haaii… maaf telat. Sudah dari tadi?”
“baru 10 menit yang lalu kok. Naik apa tadi Wie?’
“Bajaj doong….”
“Oh. Pantas. Suaramu kenceng sekali.”

PLAK!

Aku baru sadar bahwa deru mesin sialan itu masih mendominasi di pendengaranku, sehingga berakibat pada volume suara yang tidak terkontrol.

Haaadoooowww….!

Aku benar-benar malu.

Hanya kata maaf yang bisa terucap, diiringi dengan senyum yang… kecut? Sudah pasti itu!

Hari itu, bajaj telah merenggut senyum mengembangku.

Ooohhhhh……!!!

Tuesday, January 20, 2009

ORANG SUSAH

Membaca tulisan Gde Prama yang berjudul “Orang Brengsek Guru Sejati”, mengingatkanku akan sosok manusia ini.

Dalam setiap perbedaan pendapat yang terjadi, si manusia ini selalu mengedepankan emosi. Dia selalu ingin tampil paling benar dengan pendapatnya dan jarang sekali mau mendengarkan pendapat yang lain. Alhasil, dalam setiap komunikasi yang terjalin selalu saja berakhir tragis. Menggantung dan menimbulkan rasa tidak enak pada lawan bicaranya.

Sebagai seorang kawan yang juga pernah berselisih paham dengannya, saya pernah mengingatkan akan kondisi tersebut. Tentang kebiasaannya dalam mengedepankan emosi dan tentang “pembelajaran” yang selalu dia lewatkan. Namun karena emosi dan rasa selalu benar lebih mendominasi dalam dirinya, maka setiap masukan yang tersaji tidak pernah benar-benar mengubah dia menjadi pribadi yang lebih hangat. Yang lebih parahnya lagi, dia menyampaikan bahwa setiap masukan itu tidak harus selalu dia turuti, sebaik apapun masukan itu bagi perubahan personalitinya.

Orang-orang yang demikian banyak kita jumpai disekitar kita. Orang-orang yang dihadirkan untuk menguji kesabaran kita. Orang-orang yang dihadirkan supaya kita dapat belajar darinya, bahwa menjadi personaliti seperti itu sangatlah menjengkelkan dan tidak layak untuk ditiru. Bahwa ingin menjadi selalu benar tidaklah selalu baik. Bahwa memaklumkan setiap emosi negatif yang keluar adalah merusak kewajaran.

Kenapa saya bilang demikian?

Bayangkan jika kemudian dalam setiap kesempatan diskusi atau jenis komunikasi apapun yang terjalin, kita mengabaikan masukan-masukan yang sebenarnya bisa menjadi berkah tak terhingga bagi peningkatan kualitas hidup kita, hanya karena kita selalu merasa diri benar.

“Kata siapa saya seperti itu?”
“Ohya? Saya seperti itu ya?”

Dua kalimat berbeda yang merujuk pada satu pernyataan, namun memberikan efek yang berbeda.

Kalimat pertama jelas telah menutup perubahan kebaikan dalam dirinya karena si empunya telah merasa diri benar, sehingga tidak perlu lagi mendengarkan yang lain.
Kalimat kedua, akan muncul sebuah kontemplasi yang masih memungkinkan terjadinya perubahan kearah kebaikan.

Mendengar, setiap manusia yang diberi pendengaran yang berfungsi dengan baik pasti bisa melakukannya. Namun mendengarkan, tidak semua orang bisa melakukannya.
Dibutuhkan kerendahan hati untuk mau melihat dalam diri terhadap kekurangan-kekurangan yang tidak kita rasakan. Kekurangan yang mungkin hanya bisa dilihat oleh orang lain.

Beruntunglah orang-orang yang diberi kerendahan hati dalam melihat kekurangan diri yang tersampaikan, orang-orang yang saya yakin akan menjadi pribadi yang hebat dikurun waktu yang terlewati.

Dan merugilah orang-orang yang tidak pernah mau berubah itu. Orang-orang susah yang kelak tak akan pernah tahu nikmatnya melewati sebuah fase perubahan dalam dirinya. Sebuah kenikmatan yang tak ternilai harganya, karena selalu ada senyum yang akan mengembang kala mengenang fase perubahan yang telah terlewati.

Semoga kamu tidak menjadi bagian dari orang susah itu…

Wednesday, January 14, 2009

JALAN YANG JARANG DILALUI


Malam tadi, untuk kesekian kalinya sang kawan meneleponku menyatakan kegundahan hatinya.

+ Aku masih gamang…

- Pertanyaanku cuman satu kawan, apa yang dikatakan oleh hatimu?

+ Menerima lamarannya

- So?

+ Tidak semudah itu. Terlalu banyak pertimbangan yang harus aku pikirkan.
Tentang statusnya, tentang masa lalunya, tentang pandangan keluarga besarku,
tentang reputasiku, tentang.. banyak deh!

- Kenapa harus ada banyak pertimbangan yang pada akhirnya malah membebani langkahmu?
Toh kata hatimu sendiri sudah jelas mengatakan jalan mana yang seharusnya kamu tempuh kan?

+ Kita hidup di negara yang melazimkan kita untuk berlaku demikian terkait dengan adat,
budaya, dan norma-norma yang telah berlaku.

- Ternyata kamu tidak sespecial seperti yang aku kira kawan.

+ Kok?

- Karena kamu menempuh jalan yang ditempuh oleh orang kebanyakan.
Kamu tidak berani mengambil jalan lain, jalan yang akan membuat kamu menjadi pribadi
yang berbeda. Jalan yang mungkin bisa lebih cepat mengantarkanmu kearah yang hendak
kamu tuju. Yaitu kebahagiaan..

Sang kawan terdiam lama. Kemudian …

- Aku iri sama kamu. Kamu mempunyai kekuatan yang tidak dimiliki oleh banyak orang.
Berani menentukan jalanmu sendiri. Dan sepanjang pengamatanku kamu selalu tampak
bahagia dengan jalan yang kamu pilih sendiri tersebut.

+ Tidak selalu bahagia. Terkadang ada penyesalan-penyesalan yang menghampiriku.
Penyesalan yang kemudian baru kutahu terlalu sedikit jika dibandingkan dengan kebahagiaan
hati yang aku dapatkan. Sebuah penyesalan yang tidak sebanding dengan nikmatnya bisa
menghalau segala resiko yang aku temui di jalan yang jarang dilalui tersebut.

- Thanks wie…

Kawan,

Terkadang kita dihadapkan pada satu persimpangan jalan kehidupan. Jalan bercabang yang terbentang didepan mata dimana kita diharuskan untuk menentukan jalan mana yang hendak dilalui.

Banyak orang akan memilih jalan yang sering dilalui oleh yang lain, sebuah jalan dengan rerumputan yang sudah mati karena terlalu seringnya diinjak-injak orang yang melewatinya, jalan yang bebatuan penghalangnya sudah tersingkirkan oleh pendahulu-pendahulu yang melewatinya, jalan yang saat kita lalui tidak memberikan efek kejut –sebuah efek yang bisa membuat debar jantung kehidupan kita lebih berirama, sebuah jalan yang datar…. Yang pada saat kita bisa mencapai ujung jalan itu, tidak ada rasa kepuasan berlebih, karena kita sudah bisa menduga ujung jalan yang kita lalui tersebut.

Sementara dibagian jalan lain, sebuah jalan yang jarang dilalui. Dimana saat melewatinya kita masih bisa merasakan nikmatnya bersentuhan dengan tetes embun yang membasahi rerumputan, asyiknya berkegiatan memindahkan segala bebatuan penghalang, sebuah jalan yang kala kita bisa sampai pada ujungnya akan memberikan kepuasan bathin. Sebuah kebahagiaan yang merasuk ke relung hati terdalam yang tak tergantikan dengan apapun juga…

Saya pernah merasakan betapa indahnya mencinta, merasakan bahagiannya tertawa, juga merasakan sedihnya tetes airmata yang membasahi diri. Pernah merasakan arti memiliki, juga merasakan arti kehilangan.

Dan saya tak menyesali apapun yang telah terjadi, karena saya melakukan semunya dengan jalan saya. Kemudian, saat masa itu sudah dekat, saya akan menyongsongnya dengan senyum kebahagiaan, karena saya telah memilih jalan kehidupan saya sendiri.

Sebuah jalan yang jarang dilalui …