Monday, November 24, 2008

PARTY TILL DROP

Bener-bener drop!!!

Bayangin aja, dua hari satu malam aku tidak tidur dengan sebenar-benarnya tidur.

Dimulai jumat malam, begadang di Muktamar Blogger Bundaran Hotel Indonesia sampai pagi dilanjut pagi harinya langsung menghadiri Pesta Blogger sampe jam 11 malam.

fyuuhhh..... ruaarrr biasaahh!!

Rekor baru telah terpecahkan buat orang sepertiku yang doyan ngebo!

Ga percaya???


neehhh.....




























emang postingan ga penting banget ya bud....??

*mlayuu...

Monday, November 10, 2008

HOW JAWA ARE YOU?

Suatu kali seorang kawan pernah bertanya kepadaku :

Kawan : Pilih mana, Suami ekspat atau Indo?
Aku : Jawa
Kawan : hahaha…cerdas! Jawabanmu membuatku berhenti mengejar dengan pertanyaan selanjutnya. Eh, tapi kenapa Jawa?
Aku : karena aku wanita Jawa

Terkesan sukuisme ya?

Lha meh piye meneh? (lha mau gimana lagi?)

Aku dibesarkan di keluarga yang semi feodal. Ayahku, priyayi Jawa tulen yang “harus laden”. Semuanya serba diladeni. Mulai dari baju yang harus sudah tersedia saat beliau hendak memakainya, sepasang minuman (teh & air putih masing-masing segelas besar) yang harus selalu terisi sehingga saat beliau hendak minum tidak perlu mencari-cari ke dapur lagi, plus penyajian makanan yang harus tertata rapi. Ada kobokan (tempat cuci tangan), serbet, sendok, piring, dan gelas air, semua harus tertata sesuai tempatnya. Jika penataannya kurang satu saja bisa dipastikan ayahku tidak akan memulai acara makan bersama itu.

Ribet ya?

Bagi orang lain mungkin iya, tapi tidak buat ibuku. Ya! Ibuku memang wanita jawa sejati, dimana ajaran-ajaran sebagai wanita jawa yang sekedar konco wingking (teman dibelakang) benar-benar dihayatinya, sehingga untuk melakukan hal-hal tersebut diatas bukanlah beban bagi beliau. Menurut ibuku, seorang wanita itu harus pandai di dapur, di kasur, dan di sumur. Salah satu ajaran dari beliau yang sangat aku sukai. Mengandung filosofi yang sangat dalam. Seyogyanya seorang wanita memang diharuskan pandai dalam urusan dapur, mulai dari memasak hingga mengelola keuangan yang berhubungan dengan itu. Juga seorang wanita diharuskan pandai memuaskan hasrat kelaki-lakian sang suami sehingga rumah tangganya bisa terselamatkan dari bahaya-bahaya laten yang kemungkinan bisa merongrong keharmonisan keluarga. Selain itu seorang wanita diharuskan pandai dalam hal menjaga kebersihan dan mempercantik rumah sehingga menjadi hunian yang nyaman untuk ditinggali.

Kodrati seorang wanita.

Sehebat apapun dia, saat kembali ke rumah selaiknya dia kembali menjadi seorang wanita yang memang hanya konco wingking (baca : supporter) bagi suaminya. Berbau gender ya?? Menurut saya, inilah kepandaian kita (kaum wanita, red) dalam memposisikan diri. Kapan kita harus menonjol dari kaum lelaki dan kapan kita harus kembali ke kodrati.














Saya??


Ya.. ya.. saya akui, dalam hal pekerjaan dan pertemanan, saya memang cenderung dominan, powerful, dan pandai dalam mengorganisasi orang-orang di sekitar saya (tidak peduli laki-laki maupun perempuan) untuk melakukan apa yang saya inginkan. Tidak hanya itu, pekerjaan laki-laki yang mungkin bagi sebagian wanita tidak mampu (lebih tepatnya tidak mau) untuk dilakukan saya bisa melakukannya. Semisal, membongkar pasang dispenser, membersihkan dan merapikan kabel-kabel elektrik (saya termasuk wanita yg suka kerapian dan kebersihan), serta hal-hal lain yang berhubungan dengan mekanikal elektrikal. Biasanya jika terjadi sesuatu yang tidak seperti biasanya, saya akan cari tahu dahulu sumber masalahnya, jika bisa saya selesaikan sendiri maka saya tak perlu bantuan orang lain untuk menyelesaikannya. Orang lain adalah pilihan terakhir dalam segala masalah yang saya alami. Then, they call me wonder woman. Hehe… terlalu berlebihan memang kawan-kawan saya itu.

Namun…..

Saat saya kembali ke pelukan lelaki terkasih, saya menjadi pribadi yang tidak sehebat itu. Cenderung menjadi wanita kebanyakan yang lemah, butuh perlindungan dan pertolongan dari hebatnya dia. Sengaja saya melakukan itu, semata-mata untuk membuat kehadiran dia begitu berarti bagi saya. Dan, dibawah ketiaknya lah semua perkataan dia yang bermuatan positif pasti akan saya turuti.

Lalu, kenapa harus laki-laki Jawa?

Ya…. Karena saya wanita Jawa, yang harus bernaung dibawah ketiak laki-laki. Laki-laki Jawa dengan stereotipenya yang harus merbawani (penuh wibawa), penuh tanggung jawab, dan halus (baca : lembut) terhadap perempuan. Sehingga dengan kewibawaannya maka powerful saya tak akan keluar, tanggung jawabnya membuat saya tak perlu mengambil-alih tugas-tugas yang tidak seharusnya menjadi pekerjaan saya (sebagai wanita jawa, red), dan kehalusannya mampu menjaga perasaan saya yang sudah di set sejak awal untuk demikian adanya.

Kalau hanya itu, kan tidak harus laki-laki Jawa?

Aku suka dipanggil nduk…

Apalagi jika itu diucapkan dengan lafal yang kental unsur Jawanya. Panggilan tersebut selalu bisa menyentuh sisi romantismeku dan membuatku terbang ke awang-awang. Mengingatkanku akan perhatian dan kemanjaan yang diberikan oleh ayah dan kakak laki-lakiku saat mereka memanggilku dengan cara demikian. “wis maem nduk?” , kene nduk, cah ayu, Bapak meh ngendikan…” Wuiiiihhh….. saya merindukan masa-masa seperti itu….

Halah! Hal itu juga bisa dilakukan oleh orang non Jawa kaleee…..!

Jika saya menikah dengan orang Jawa, maka saya tak perlu menerangkan arti kata-kata seperti tersebut dibawah ini :

Wagu ik!
Weeh… kamso!
Makjegagik!
Sirahku makcleng!
Makbedundug!
Ngepot-ngepot!
Makdesss!


Terlalu susah bagi saya yang simpel ini untuk mencari-cari padanan katanya. Padahal saya itu Jawa byangeett yang terkadang merindukan bercakap-cakap menggunakan bahasa tersebut.










Kamu?

Iya, kamu yang ngaku-ngaku orang Jawa, tahu artinya kah?