Monday, July 30, 2007

PAY IT FORWARD


Beep..beep... Layar ponselku menyala-nyala dan memperdengarkan bunyi khas pertanda ada sms masuk.

-
kamis, jam 9 mlm ada film bagus di ANTV, 'Pay It Forward' Rugi kalo gak nonton.


Sms dari seorang sahabat itu sangat manjur membuatku mau bertahan di channel tv yang jarang aku tonton tersebut. Pasti filmnya memang sangat patut untuk ditonton, karena seorang Anto Saptodewo yang mempunyai kesibukan luar biasapun masih sempat berbagi waktu untuk "berkampanye" tentang bagusnya film tersebut.

Pay It Forward, film yang bisa dibilang sudah terlalu lama untuk dibicarakan lagi. Saking lamanya aku sendiri sampai lupa apakah pernah nonton film tersebut atau belum (cara jitu ngeles, supaya tidak dibilang ketinggalan jaman!). Tapi sepertinya tidak terlalu penting apakah dulu aku pernah nonton atau belum, yang jelas film tersebut sudah didepan mata dan siap untuk dinikmati (kembali).

"Saya akan berbagi kebaikan kepada tiga orang, dan masing-masing dari tiga orang yang menerima kebaikan saya tersebut harus membalas kebaikan saya dengan cara membagi kebaikan kepada tiga orang yang lain, demikian seterusnya..."

Demikian penjabaran sederhana tentang proyek Trevor (pemeran utama dalam film tersebut) yang dia ilustrasikan di papan tulis dengan satu bulatan yang mempunyai kaki 3 dibawahnya, dan setiap kaki tersebut harus mempunyai 3 kaki lagi kebawah, dan seterusnya. Persis seperti bisnis MLM yang (dulu) marak di Indonesia, dimana setiap orang harus mencari downline supaya terbentuk jaringan bagus yang akan menguntungkan sang Up line.

Sejenak proyek Trevor yang dia presentasikan di depan kelas tersebut sedikit mengusik pikiran jahilku. Seandainya saja aku ada diantara anak-anak dikelas tersebut, mungkin aku akan interrupt dan bilang, "Brarti kamu ga tulus dunk Trev, memberikan kebaikan dengan mengharapkan imbalan."

Tapi kemudian aku tersentil sendiri dengan pemikiran jahil tersebut, di dunia ini mana ada sih yang tanpa pamrih?

Seorang Ibu yang terkenal akan kasihnya yang tuluspun tetap mengharapkan pamrih akan kasih yang telah dia berikan tersebut. Meskipun pamrih tersebut tidak selalu harus berujud suatu sanjung puja apalagi harta. Melihat sang anak bisa tumbuh menjadi "kebanggaan hati" mungkin sudah cukup menjadi bayaran atas segala pengorbanannya dalam membesarkan sang buah hati tersebut.

Bahkan aku sendiri -si pemikir jahil, juga seperti itu. Dulu ketika masih kuliah, dalam perjalanan pulang Jogja-Semarang dimana aku sering menggunakan bis non patas (maklum mahasiswi), sering aku jumpai ibu-ibu tua, mbak-mbak yang kerepotan karena harus membawa balita, dan bapak-bapak yang sangat renta, yang tidak kebagian tempat duduk. Jika melihat kondisi seperti itu, hatiku pasti tersentuh. Kursi empuk penghilang penat dalam menempuh perjalanan yang lumayan lama (sekitar 4 jam) pun pasti akan aku tawarkan ke mereka. Tidak apa-apa berdiri 4 jam, toh aku masih cukup muda, bahkan dengan berdiri, seisi bis bisa melihat betapa keren penampilanku (hehe... mencoba berpikir positif, meskipun sedikit narsis).

Tapi, terlepas dari pemikiran positif tersebut, sebenarnya dalam hati kecilku ada sebuah pengharapan atas kebaikan yang aku berikan tersebut. Semoga kelak, dimanapun orangtua atau keluargaku berada akan selalu mendapat perlakuan manis seperti aku memperlakukan mereka. Memang pengharapan itu bukan untukku, tapi tetap saja ada sebuah pamrih yang terselip.

Dan akupun menjadi tertarik untuk mengupas lebih dalam tentang kebaikan yang harus berbalas tersebut.

jadi, ndak ada salahnya tho? Lha wong Tuhan aja juga sering ngiming-imingi * kita dengan berbagai macam pahala untuk beraneka macam kebaikan yang kita lakukan kok, palagi cuman Trevor? Pliss dee aah....!

Akupun semakin terpojok, manakala pikiran jahil yang lain mengingatkanku,

Lagian ngapain kamu ngurusin kebaikan yang sepaket dengan pamrih tersebut? Lha kamu sendiri, udah diiming-imingi pahala yang begitu menggiurkan aja ga pernah konsisten dalam melakukan kebaikan kok, palagi ga dikasih apa-apa??? Cuapekk deeeehhh...!!

Tak lama kemudian, aku menangis haru... entah karena sentilan pemikiran jahilku yang begitu tajem, atau memang film Pay It Forward yang pada endingnya sungguh menyedihkan tersebut. Dasar ndeso!

Terima kasih buat Pak Anto yang telah berbagi indahnya film tersebut, sehingga saya jadi diingatkan bahwa saya memang harus selalu Pay It Forward (PIF) atas segala nikmat yang saya rasakan selama ini.


_Masih di Cirebon, akhir Juli 2007

No comments:

Post a Comment