Monday, November 10, 2008

HOW JAWA ARE YOU?

Suatu kali seorang kawan pernah bertanya kepadaku :

Kawan : Pilih mana, Suami ekspat atau Indo?
Aku : Jawa
Kawan : hahaha…cerdas! Jawabanmu membuatku berhenti mengejar dengan pertanyaan selanjutnya. Eh, tapi kenapa Jawa?
Aku : karena aku wanita Jawa

Terkesan sukuisme ya?

Lha meh piye meneh? (lha mau gimana lagi?)

Aku dibesarkan di keluarga yang semi feodal. Ayahku, priyayi Jawa tulen yang “harus laden”. Semuanya serba diladeni. Mulai dari baju yang harus sudah tersedia saat beliau hendak memakainya, sepasang minuman (teh & air putih masing-masing segelas besar) yang harus selalu terisi sehingga saat beliau hendak minum tidak perlu mencari-cari ke dapur lagi, plus penyajian makanan yang harus tertata rapi. Ada kobokan (tempat cuci tangan), serbet, sendok, piring, dan gelas air, semua harus tertata sesuai tempatnya. Jika penataannya kurang satu saja bisa dipastikan ayahku tidak akan memulai acara makan bersama itu.

Ribet ya?

Bagi orang lain mungkin iya, tapi tidak buat ibuku. Ya! Ibuku memang wanita jawa sejati, dimana ajaran-ajaran sebagai wanita jawa yang sekedar konco wingking (teman dibelakang) benar-benar dihayatinya, sehingga untuk melakukan hal-hal tersebut diatas bukanlah beban bagi beliau. Menurut ibuku, seorang wanita itu harus pandai di dapur, di kasur, dan di sumur. Salah satu ajaran dari beliau yang sangat aku sukai. Mengandung filosofi yang sangat dalam. Seyogyanya seorang wanita memang diharuskan pandai dalam urusan dapur, mulai dari memasak hingga mengelola keuangan yang berhubungan dengan itu. Juga seorang wanita diharuskan pandai memuaskan hasrat kelaki-lakian sang suami sehingga rumah tangganya bisa terselamatkan dari bahaya-bahaya laten yang kemungkinan bisa merongrong keharmonisan keluarga. Selain itu seorang wanita diharuskan pandai dalam hal menjaga kebersihan dan mempercantik rumah sehingga menjadi hunian yang nyaman untuk ditinggali.

Kodrati seorang wanita.

Sehebat apapun dia, saat kembali ke rumah selaiknya dia kembali menjadi seorang wanita yang memang hanya konco wingking (baca : supporter) bagi suaminya. Berbau gender ya?? Menurut saya, inilah kepandaian kita (kaum wanita, red) dalam memposisikan diri. Kapan kita harus menonjol dari kaum lelaki dan kapan kita harus kembali ke kodrati.














Saya??


Ya.. ya.. saya akui, dalam hal pekerjaan dan pertemanan, saya memang cenderung dominan, powerful, dan pandai dalam mengorganisasi orang-orang di sekitar saya (tidak peduli laki-laki maupun perempuan) untuk melakukan apa yang saya inginkan. Tidak hanya itu, pekerjaan laki-laki yang mungkin bagi sebagian wanita tidak mampu (lebih tepatnya tidak mau) untuk dilakukan saya bisa melakukannya. Semisal, membongkar pasang dispenser, membersihkan dan merapikan kabel-kabel elektrik (saya termasuk wanita yg suka kerapian dan kebersihan), serta hal-hal lain yang berhubungan dengan mekanikal elektrikal. Biasanya jika terjadi sesuatu yang tidak seperti biasanya, saya akan cari tahu dahulu sumber masalahnya, jika bisa saya selesaikan sendiri maka saya tak perlu bantuan orang lain untuk menyelesaikannya. Orang lain adalah pilihan terakhir dalam segala masalah yang saya alami. Then, they call me wonder woman. Hehe… terlalu berlebihan memang kawan-kawan saya itu.

Namun…..

Saat saya kembali ke pelukan lelaki terkasih, saya menjadi pribadi yang tidak sehebat itu. Cenderung menjadi wanita kebanyakan yang lemah, butuh perlindungan dan pertolongan dari hebatnya dia. Sengaja saya melakukan itu, semata-mata untuk membuat kehadiran dia begitu berarti bagi saya. Dan, dibawah ketiaknya lah semua perkataan dia yang bermuatan positif pasti akan saya turuti.

Lalu, kenapa harus laki-laki Jawa?

Ya…. Karena saya wanita Jawa, yang harus bernaung dibawah ketiak laki-laki. Laki-laki Jawa dengan stereotipenya yang harus merbawani (penuh wibawa), penuh tanggung jawab, dan halus (baca : lembut) terhadap perempuan. Sehingga dengan kewibawaannya maka powerful saya tak akan keluar, tanggung jawabnya membuat saya tak perlu mengambil-alih tugas-tugas yang tidak seharusnya menjadi pekerjaan saya (sebagai wanita jawa, red), dan kehalusannya mampu menjaga perasaan saya yang sudah di set sejak awal untuk demikian adanya.

Kalau hanya itu, kan tidak harus laki-laki Jawa?

Aku suka dipanggil nduk…

Apalagi jika itu diucapkan dengan lafal yang kental unsur Jawanya. Panggilan tersebut selalu bisa menyentuh sisi romantismeku dan membuatku terbang ke awang-awang. Mengingatkanku akan perhatian dan kemanjaan yang diberikan oleh ayah dan kakak laki-lakiku saat mereka memanggilku dengan cara demikian. “wis maem nduk?” , kene nduk, cah ayu, Bapak meh ngendikan…” Wuiiiihhh….. saya merindukan masa-masa seperti itu….

Halah! Hal itu juga bisa dilakukan oleh orang non Jawa kaleee…..!

Jika saya menikah dengan orang Jawa, maka saya tak perlu menerangkan arti kata-kata seperti tersebut dibawah ini :

Wagu ik!
Weeh… kamso!
Makjegagik!
Sirahku makcleng!
Makbedundug!
Ngepot-ngepot!
Makdesss!


Terlalu susah bagi saya yang simpel ini untuk mencari-cari padanan katanya. Padahal saya itu Jawa byangeett yang terkadang merindukan bercakap-cakap menggunakan bahasa tersebut.










Kamu?

Iya, kamu yang ngaku-ngaku orang Jawa, tahu artinya kah?

42 comments:

  1. aku jowo tulen....




    *langsung ngumpet....*

    ReplyDelete
  2. pertamax
    amiin say, amiin.

    sukses yach di sana. luv luv luv

    ReplyDelete
  3. mbak, aku yo jowo lho !!!

    *ngumbah jarik*

    ReplyDelete
  4. mba makdess itu apa?
    udah praktek?
    eh apa seh itu?

    *kaboooor*

    ReplyDelete
  5. wah kamu sudah siap jadi istri mbak...siap masak macak manak...njuk kapan?

    ReplyDelete
  6. sip dah!!
    gambar huruf jawanya mendukung ceritamu og..
    :p

    ReplyDelete
  7. Kalau saya malah ingin kawin sama non Jawa Mbak. Biar wawasan luwaaaass! hehe.. :)

    ReplyDelete
  8. hmm emang gitu ya, saya juga dibilang gitu sama ibu saya, saya juga terbiasa dengan segala ritual meja makan dan ritual2 lainnya hehe

    ari

    ReplyDelete
  9. wah... akhire iso koment...
    tapi sing rep tak komenke mau wis kadung lali

    ReplyDelete
  10. iya.. kamu memang hebat!

    ReplyDelete
  11. @ wedhouz : lha yo kui, aku kangen komen nganggo boso jowo dab!

    ReplyDelete
  12. Yes! bisa comment juga!
    Aku juga kalo peran istri di rumah tangga a la Jawa itu sangat mulia. Wah jadi inget waktu Ibu bilang... "Cari istri itu yang bisa manut sama kamu Nang... mbah dulu bilang ning surga melu nunut, ning neroko melu katut".

    Mak-dez tenan.

    ReplyDelete
  13. hmm... smart, mature, and nice package for a man.

    it's you wie!

    ReplyDelete
  14. yah gagal maning..gala maning deh aku bukan wong jowo wie piye nih :D

    ReplyDelete
  15. Tulisannya bagus, terutama poin yg tentang dapur, kasur, dan sumur :)

    Wanita Jawa memang Top!

    ReplyDelete
  16. Dadi kelingan Ibu,
    kalo manggil mantu-mantu perempuannya, dengan sebutan ndhuk, gendhuk.
    jadi kangen :)

    ReplyDelete
  17. sing mesti aku wong jowoooooooo ........

    ReplyDelete
  18. alkamdulilah.....bisa koment.
    setelah bbrp hr mutung,koment ra mlebu2.....

    makane,tuku domain dewe....
    due mekbuk kok mung nggo ganjel kompor..!!!


    *lost fokus*

    ReplyDelete
  19. waduh, kadosipun awrat nggih, dados "wanita jawa". nanging 'njawani' punapa mboten 'njawani' punika ugi gemantung ingkang wonten ati lho, Mbak... nanging, kula tumut bungah menawi panjenengan sampun 'nemoaken' ingkang dipunpadosi, inggih punika 'laki-laki jawa sejati'.

    ReplyDelete
  20. nembe ngertos mbak nak wong wadon jowon kedah meniko

    ReplyDelete
  21. @ mbak teresa : eerrr.... roaming mbakyu.... :)

    @ memble : kalo mo kursus tentang hal itu bisa lho kontak saya.

    ReplyDelete
  22. rene Ndhuk, Kakangmas pengin ngendikan, ananging ngenteweleh hartosna abdi teh bimbang, teung teuingen kunaon ngantunken abdi... (kok dadi sundho..?)

    ReplyDelete
  23. wes jan tenan, dadi wong jowo emang maknyusssss!!!

    ReplyDelete
  24. ga setuju .....umbah-umbah n omah-omah..
    setuju ..lumah lumah ......

    ReplyDelete
  25. @ didit : yo wis tho, kamu memang cocok untuk umbah2 dan omah2 kok.. plus nggosok

    :p

    ReplyDelete
  26. eh aku kok ga mudeng, berarti aku jowo palsu yo?

    ReplyDelete
  27. ah untung aku bukan jawa

    *nyamar

    ReplyDelete
  28. masih ada ya perempuan seperti anda, jarang sekali loh, saya menulis tt perempuan juga, kapan2 bisa diskus..

    ReplyDelete
  29. ortu gw jawa...

    tp gw lahir di luwuk...

    itungannya jawa pa ga'?

    ReplyDelete
  30. tapi awak mu kokgak gelem ngomong jowo karo aku.
    Yo opo kabare ning, wis beth nang jkt?
    kapan nang sby maneh

    ReplyDelete
  31. @ satrioaja : klo liat tulisan gw itu kamu pasti orang kudus ya? *lost fokus

    @koespurnomo : yok opo kabare cak? :)

    ReplyDelete
  32. Wik, wong jowo koq ngomongnya "guwa"... Wagu!!

    ReplyDelete
  33. hmmm..meh nge'i komen opo neh ..ki ....wes kebak kabeh ....

    ReplyDelete
  34. @ avante : kakean bergaul sama elo... jadi guwa ngomongan jadi kek gini *tendang adam ke purwodadi

    @ didit : komen 315 ae *nyungsep

    ReplyDelete
  35. Kenapa ya aku kok sebel banget kalo dipanggil "nang" sama orang gak dikenal. Rasanya orang itu kok "temuwo" buanget... :)

    ReplyDelete
  36. jarang lho cewe jaman sekarang yg berpikiran begini.
    kebanyakan maunya setara atau bahkan diusahakan melebihi lelaki, dalam segala hal....

    ReplyDelete
  37. Eh iya bener juga kata @dim. Apalagi kalo udah kenal dengan berbagai nikmatnya jadi single, free and success.

    Jarang ada orang kayak kamu wik.

    ReplyDelete
  38. @dim & D : saya single, free dan sukses menurut ukuran sayah. Tapi, saya tetep wanita jawa yang terlanjur mencintai ajaran2 ibu tersebut.

    ReplyDelete
  39. mbak, ta kirain orang cirebon.... tapi cirebon juga jawa kan??

    ReplyDelete
  40. waaa... tulisan yg menarik nduk, luar biasa! :D

    ReplyDelete