Tuesday, June 5, 2007

KEKANCAN



"Cinta platonis? Bullshit!! "

Dan setelahnya, kawan saya si Parjo tidak pernah lagi menampakkan batang hidungnya. Menurut info yang saya terima setelah tinggal glanggang colong playu (baca: meninggalkan saya begitu saja di teras kos-kosan) waktu itu, si Parjo mengalami pendarahan hebat di hidung alias mimisan yang disinyalir karena terlalu memikirkan alasan cinta platonis yg saya beberkan. Alhasil sang hidung harus selalu disisipi Daun Sirih untuk menghentikan pendarahan tersebut sehingga membuat dia malu utk menampakkan batang hidungnya yg berhiaskan lintingan Daun Sirih! What a silly reason!

Ya! Memang sebuah alasan bodoh yang terlalu saya buat-buat sendiri, hanya untuk sekedar menenangkan hati ini dari perasaan bersalah. Perasaan bersalah??!? Haruskah saya merasa seperti itu? Bukankah mencintai itu merupakan hak azazi seseorang yang harus kita hormati keberadaannya? Seperti saya menghormati "Cinta" Parjo kepada saya dengan tetap mau berkawan dengannya meskipun saya tidak mempunyai rasa yang sama. Jika kemudian dia merasa tersakiti karena menurutnya saya telah memberikan harapan-harapan kosong (baca: menghormati hak mencintai seseorang), apakah itu merupakan salah saya sehingga dia layak tinggal glanggang colong playu seperti itu? Suatu tindakan yang tanpa dia tahu telah membuat saya bersedih karena....... hidungnya dihiasi lintingan Daun Sirih!

Cinta platonis, sebenarnya saya sendiri kurang begitu tahu arti dari kata ini. Terlalu banyak pengertian berbeda-beda yang saya dapatkan. Namun yang pasti saya tahu adalah bahwa bentuk hubungan pertemanan saya dengan lawan jenis -yang sudah saya anggap sebagai sahabat- adalah hubungan yang sangat afektif dimana saya tidak mencoba melibatkan unsur-unsur ketertarikan secara seksual. Dan alasan ini pulalah yang membuat si Parjo berteriak bullshit! Menurutnya kedekatan hubungan seorang laki-laki dan perempuan pasti ujung-ujungnya menyangkut masalah hati. Dan jika sudah berbicara masalah hati, maka cinta platonis yang afektif non seksual itu hanyalah omong kosong belaka.

" ... dan yang tinggal hanyalah kegembiraan karena gayung bersambut, atau harapan-harapan kosong menyakitkan seperti yang kamu berikan itu! Teganya kamu!"

Saya tega?? Bagaimana dia bisa berkata seperti itu kalau dia pun tidak menghargai perasaan saya? Ah, seandainya saja dia tahu bahwa tidak semuanya harus berbalas dengan hal yang sama agar keindahan sebuah hubungan tetap terjaga. Bahwa ketidaksamaanpun sebenarnya bisa ditransformasikan menjadi sesuatu yang indah sepanjang menggunakan "gaya" yang sama. Jika saya bisa menghormati hak mencinta dia, pun dia menghormati hak mencinta saya (even bukan buat dia), niscaya Si Parjo tidak perlu menggunakan lintingan Daun Sirih untuk menyembunyikan batang hidungnya. Seperti foto yang terpampang diatas, tidak perduli mau seperti apa gaya rambutnya, atau dari golongan dan ras mana kita berasal, sepanjang gaya yang kita pakai selaras dan harmonis, maka perbedaan itu nisbi adanya.... (asal sama-sama cantik! pret!)