
Dengan keyakinan penuh kuberhentikan angkutan yang selama ini aku idam-idamkan untuk aku naiki itu. Sebentar lagi aku akan merasakan kehebatan vibrasi dari bajaj yang konon bisa bertahan hingga 7 hari 7 malam. Yang efek menahunnya konon bisa bikin tulisan jadi jelek. Belum lagi suara deru mesin yang akan menguras energi kita apabila nekat melakukan perbincangan didalam bajaj.
“Kemang, Bang!”
Setelah menyepakati harga yang harus aku bayar, maka dengan bacaan bismillah dalam hati, kumulailah petualangan siang itu. Mental dalam diri sudah aku bangun dengan pondasi kalimat-kalimat miring mengenai bajaj itu sendiri. Dan saat mesin telah dinyalakan, kumulai perjalanan kali ini dengan senyum mengembang.
5 menit pertama, senyum itu masih megembang. Deru mesin yang memekakkan telinga bisa aku antisipasi dengan alunan lagu-lagu melalui earphone. Nyaman. Tidak sebegitu menakutkan seperti gambaran kawan-kawanku. Dan senyumku masih terus mengembang.
“Neng, lokasinya sebelum atau setelah Mac Di?”
“Apa bang?” Kumatikan sejenak M3 yang sedang aku dengarkan itu.
“Lokasinya Sama Mac Di?”
“Oh.. masih terus bang. Perempatan lurus aja.”
Kemudian terjadi sedikit percakapan antara aku dengan supir bajaj tersebut terkait dengan lokasi yang hendak aku tuju. Bajaj itu masih melaju, menambah kecepatannya yang berefek pada peningkatan vibrasi dan deru mesin. Ngepot kiri, nyalip kanan, ngajleng saat ada lobang jalan, plus kepulan asap memperseru perjalananku siang itu.
“Bang… bang.. kelewatan.”
Abang itu tetap melaju. Tak menghiraukan suaraku yang tertelan deru mesin itu.
“BAANGG…..! KELEWATAAAN!”
Reflek begitu mendengar jeritanku, supir bajaj itu tanpa bertanya-tanya lagi langsung membelokkan arah setirannya 180 derajat! GILA! Aku langsung syok! Aku tidak mempersiapkan mentalku untuk ini. Dalam pikiranku, bajaj itu seperti mobil-mobil kebanyakan, yang harus memindahkan gigi terlebih dahulu, mengurangi kecepatan, mundur, baru berbelok. Lha ini…. Tanpa melalui fase-fase yang ada dalam bayanganku, bajaj itu langsung ngeeeeekkkk… muter 180 derajat! GILA!
Don’t be panic wie.
Aku mencoba menenangkan gemuruh dalam dada. Menarik nafas panjang, dan mencoba meletakkan kembali senyum itu dalam wajahku. Meskipun aku tahu, kali ini tidak lagi mengembang. Kecut. Mungkin itu kata yang lebih tepat.
Well, akhirnya sampailah aku di tujuan dengan selamat.
”Haaii… maaf telat. Sudah dari tadi?”
“baru 10 menit yang lalu kok. Naik apa tadi Wie?’
“Bajaj doong….”
“Oh. Pantas. Suaramu kenceng sekali.”
PLAK!
Aku baru sadar bahwa deru mesin sialan itu masih mendominasi di pendengaranku, sehingga berakibat pada volume suara yang tidak terkontrol.
Haaadoooowww….!
Aku benar-benar malu.
Hanya kata maaf yang bisa terucap, diiringi dengan senyum yang… kecut? Sudah pasti itu!
Hari itu, bajaj telah merenggut senyum mengembangku.
Ooohhhhh……!!!